Minggu, 01 Juli 2012

TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Sukabumi, Jawa Barat)


2.1 Taman Nasional
Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahun, pendidikan,
menunjang budaya, pariwisata dan rekreasi.
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan
rekreasi alam (Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1998).
Dalam SK Menteri Kehutanan No. 435/kpts-II/89 memuat ketentuan Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi terdiri dari zona inti, zona penyangga, zona pemanfaatan serta zona-zona lain yang dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekeasi dan pendidikan. Meningkatkan pengelolaan kawasan hutan konservasi alam secara terpadu dalam bentuk Taman Nasional dalam rangka mewujudkan pemeliharaan, perlindungan, pengawetan, dan pelestarian manfaat sumber daya alam hutan baik barang maupun jasa, secara terpadu, selaras, seimbang dan lestari. Salah satu bentuk hutan konservasi dikelola Taman Nasional yang
merupakan kawasan pelestarian alam dengan pengelolaan berdasarkan zonasi.
Taman Nasional melakukan zonasi untuk menentukan zona mana yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk rekreasi, pendidikan,
penelitian, dan penunjang budidaya (biasanya dinamakan zona pemanfaatan) dan zona mana yang benar-benar dijaga untuk kelangsungan seluruh komponen
kehidupan. Zona yang dijaga tersebut biasanya disebut dengan zona inti. Agar
tidak terjadi kontak langsung yang merugikan, antara zona inti dengan zona
pemanfaatan pun terdapat zona penyangga.



Dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 disebutkan bahwa suatu
kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Taman Nasional, apabila telah memenuhi
kriteria sebagai berikut :
a.       Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami.
b.      Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami.
c.       Memiliki satu atau bebrapa sistem yang masih utuh
d.      Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan
e.       Sebagai pariwisata alam
f.        Merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Kawasan ekosistem Halimun merupakan satu-satunya kawasan di Pulau Jawa bagian barat yang masih memiliki kekayaan ekosistem hutan hujan tropis, yang juga merupakan salah satu penyangga atau pendukung penting sistem kehidupan mengingat fungsinya sebagai kawasan resapan air (water-catchment area), terutama yang berhubungan dengan ketersediaan sumber daya air di tiga propinsi (Jawa Barat, DKI Jakarta dan Propinsi Banten). Kekayaan lainnya adalah
kandungan bahan tambang yang bernilai ekonomi tinggi seperti emas, bentonit,
kapur, dan lain-lain yang dilirik dan diperebutkan banyak pihak sehingga
menimbulkan konflik multipihak.








2.2 Masyarakat Sekitar Hutan
Masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah warga negara yang belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan. Karena secara geografis, letaknya sangat terpencil. Dimana jangkauan, akses informasi, pendidikan dan mata pencahariannya serba terbatas. Dengan kondisi demikian, maka sudah sewajarnya masyarakat tersebut diberdayakan melalui berbagai kegiatan pembangunan. Terutama yang terkait dengan pembangunan hutan sebagai sumber daya yang paling dekat dengan keberadaan mereka. Pernyataannya itu sejalan dengan visi pembangunan kehutanan: pembangunan hutan yang lestari dan dapat mensejahterakan masyarakat yang merupakan salah satu bagian penting dalam pengelolaan hutan dan bagian dari ekosistem hutan (Fenny 2009).
Menurut Mainawati (2004) pengelolaan hutan tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah melainkan memerlukan peran aktif dari masyarakat yang bisa berfungsi sebagai kontrol sosial.
Pengalaman menunjukkan bahwa adanya akses masyarakat lokal terhadap pemanfaatan hutan dan terhadap proses perumusan kebijakan akan mengurangi banyak permasalahan dalam pengelolaan hutan. Namun dalam prakteknya, terjadi biasa yang sangat besar antara pihak (stakeholders) yang berkepentingan terhadap hutan. Pengakuan akses masyarakat jarang diterapkan dilapangan dan persoalan malahan bertambah oleh anggapan mengenai rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lokal, kelembagaan lokal yang tidak berkembang, dan diabaikannya isu-isu budaya lokal oleh para perencana pembangunan.
Meskipun interaksi saling menguntungkan antara hutan dan masyarakat tersebut dapat dijumpai di banyak tempat dan dalam berbagai karakter masyarakat lokal, kesempatan yang tersedia bagi berkembangnya praktek-praktek pengelolaan hutan di tingkat lokal amatlah sempit, bila tak bisa disebut tidak ada sama sekali.






2.3 Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Dalam konteks sumberdaya hutan menurut Suharjito et al. (2000)
pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) adalah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individual/rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan masyarakat, serta diusahakan secara komersial ataupun subsisten.
PHBM merupakan suatu instrumen untuk mencapai tujuan pengelolaan
hutan yaitu kelestarian hutan, keseimbangan ekologis dan kesejahteraan
masyarakat. Dengan kata lain adalah suatu kondisi dimana kepentingan para pihak dapat terpenuhi. Kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat bermitra dengan perusahaan HTI memiliki kelebihan antara lain masyarakat mendapat bimbingan teknis, bantuan modal, jaminan kesempatan kerja dan kepastian pemasaran kayunya.

2.4 Pengetahuan Masyarakat
Pengetahuan merupakan kapasitas manusia untuk memahami dan menginterpretasikan baik hasil pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa
digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan dalam
keputusan. Pengetahuan merupakan keluaran dari proses pemahaman dan
interpretasi yang masuk akal. Namun pegetahuan bukanlah merupakan kebenaran yang bersifat mutlak. Pengetahuan sendiri tidak mengarah ke suatu tindakan nyata.
Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia
melalui pengematan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seorang menggunakan indera atau akal budinya untuk menggali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya .






2.5 Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
Widada (2006) mengatakan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui tiga kegiatan pokok, yaitu:
1.      Perlindungan sistem penyangga kehidupan.
2.      Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
3.      Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.





















I.                  KONDISI UMUM DAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK.

A.    Kondisi Biofisik Taman Nasional Gunung Halimun Salak
·        Letak
Secara geografis Taman Nasional Gunung Halimun Salak terletak pada 106012’58’’ BT-106045’50’’ BT dan 06032’14’’ LS-06055’12’’ LS. Secara administratif wilayah kerja Taman Nasional Gunung Halimun Salak termasuk dalam tiga wilayah administratif pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak (BTNGHS 2007). Kantor Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak dapat dijangkau dengan kendaraan darat. Perjalanan dari Jakarta menempuh waktu 3 jam dengan jarak 125 km melalui rute perjalanan Jakarta-Bogor-Parungkuda-Kabandungan, sedangkan dari Bandung dapat ditempuh dalam 4 jam dengan jarak 152 km melalui rute perjalanan Bandung-Sukabumi-Parungkuda-Kabandungan.
cipeuteuy.jpg
(peta desa cipeuteuy)





·        Tanah
Geologi kawasan TNGHS merupakan bagian dari deretan pegunungan Sumatera. Sebagian besar kawasan tersusun atas batuan vulkanik breksi, basaltik dan lava andesit dari periode Pleistosin dan beberapa strata dictic dari periode Prepleiosin (sekitar 10-20 juta tahun yang lalu). Berdasarkan peta tanah tinjau Jawa Barat, jenis tanah di daerah ini terdiri atas asosiasi andosol coklat dan regosol coklat, asosiasi latosol coklat dan latosol coklat kekuningan, latosol coklat kemerahan dan latosol coklat, asosiasi latosol coklat kemerahan dan laterit, komplek latosol coklat kemerahan dan lithosol, asosiasi latosol coklat dan regosol kelabu (LP Tanah, 1966). Bahkan Gunung Salak sampai saat ini masih berstatus gunung berapi gunung berapi strato type A dan tercatat terakhir meletus tahun 1938. Gunung Salak memiliki kawah yang masih aktif dan dikenal dengan nama Kawah Ratu.

·         Topografi
Kawasan TNGHS mempunyai ketinggian tempat berkisar 500-2.211 mdpl. Topografinya bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung. Di sekitar kawasan TNGHS terdapat bukit memanjang mulai dari Gunung Endut (di sebelah barat) melintas Gunung Kendeng (di kawasan baduy) kemudian perlahan menurun sampai ke Gunung Honje dan semenanjung Ujung Kulon. Sedangkan di sebelah timur berhubungan dengan Gunung Gede Pangrango yang dipisahkan oleh Sungai Citatih, Sungai Cisadane dan jalan Propinsi Ciawi-Sukabumi.

·         Iklim dan Curah Hujan
Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) iklim di daerah kawasan TNGHS termasuk tipe A, dengan curah hujan tahunan sebesar 4.000 – 6.000 mm. Rata-rata curah hujan bulanan selalu > 100 mm, dengan bulan terkering (+ 200 mm) pada Juni sampai Septermber dan terbasah (+500 mm) antara Oktober- Maret, sehingga dapat digolongkan beriklim selalu basah dengan kelembaban udara rata-rata 88%. Suhu rata-rata bulanan 31,50C dengan suhu terendah 19,70C dan suhu tertinggi 31,80C.


·         Flora
Lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga hidup di hutan alam di dalam TNGHS, yang meliputi 391 marga dari 119 suku. Tipe hutan alam di kawasan TNGHS dibagi menjadi hutan hujan dataran rendah (100-1.000 mdpl) yang didominasi oleh Zona Collin (500-1.000 mdpl), hutan hujan pegunungan bawah atau sub montana (ketinggian 1.000-1.500 mdpl) dan hutan hujan pegunungan tengah atau hutan montana (ketinggian 1.500-1.929 mdpl). Pada ketinggian 1.400- 1.929 mdpl banyak dijumpai jenis-jenis Gimnospermae seperti jamuju (Dacrycapus imbricatus), kiputri (Podocarpus neriifolius) dan kibima (P. amara).
Sedangkan pada ketinggian 1.000-1.200 mdpl terdapat pohon-pohon yang
tingginya mencapai 40-45 m dengan diameter 120 cm, jenis-jenisnya antara lain rasamala (Altingia excelsa), saninten (Castanopsis argentea), pasang (Quercussp.) dan huru (Litsea sp.). pada ketinggian 600-700 mdpl beberapa jenis anggota Suku Dipterocarpaceae yang merupakan ciri hutan hujan dataran rendah dapat ditemukan dikawasan Gunung halimun, yaitu: Dipterocarpus trinervis, D. Gracillis dan D. Hasseltii. Didaerah perluasan ditemukan hutan tanaman , terutama di areal yang dulunya berstatus sebagai hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani, antara lain hutan tanaman rasamala (Altingia excelsa), pinus (Pinus merkusii), damar (Agathis sp.) dan puspa (Schima wallichii).

·         Fauna
TNGHS memiliki keanekaragaman satwa liar yang tinggi, diantaranya 244 jenis burung atau setara dengan 50% dari jumlah jenis burung yang hidup di Jawa dan Bali, 61 jenis mamalia, 27 jenis amfibi, 50 jenis reptilia, berbagai jenis serangga, diantaranya 26 jenis capung. Jenis penciri (Flagship Species) TNGHS adalah owa jawa (Hylobates moloch), macan tutul (Panthera pardus melas) dan elang jawa (Spizaetus bartelsi), serta kukang (Nycticebus coucang) (BTNGHS 2007).



B.     Kondisi Sosial dan Ekonomi Desa Cipeuteuy
·         Administrasi Pemerintahan
Dalam administrasi pemerintahan Desa Cipeuteuy terletak di Kecamatan
Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Desa Cipeuteuy terbagi ke dalam 5 dusun yaitu Dusun Cipeuteuy, Dusun Cisalimar, Dusun Lewiwaluh, Dusun Arendah,
dan Dusun Cisarua. Pemerintahan Desa Cipeuteuy dipimpin oleh Kepala Desa dan dibantu oleh perangkat desa. Secara administratif batas-batas Desa Cipeuteuy adalah sebagai berikut:
1.      Sebelah utara bebrbatasan dengan Desa Purwabakti, kecamatan pamijahan, kabupaten bogor.
2.      Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cihamerang, kecamatan kebandungan, kabupaten sukabumi.
3.      Sebelah timur berbatasan dengan Desa Kabandungan, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi.
4.      Sebelah barat berbatasan dengan Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.

·         Demografi
Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy yang tercatat dalam profil desa tahun 2008 sebanyak 6.654 jiwa yang terdiri dari 3.369 laki-laki (50,63 %) dan 3.285 perempuan (49,37 %). Jumlah kepala keluarga di Desa Cipeuteuy sebanyak 1.654 KK. Kepadatan penduduknya mencapai 562 jiwa/Km2. Sedangkan tahun
sebelumnya, jumlah penduduk Desa Cipeuteuy sebanyak 6.352 jiwa yang terdiri dari 3.236 laki-laki dan 3.116 perempuan. Terdapat pertambahan penduduk sebanyak 302 jiwa (4,75 %) yang terdiri dari 133 orang laki-laki dan 169 perempuan. Pembagian umur masyarakat terbagi menjadi beberapa klasifikasi.
Kelas umur 0-4 tahun tergolong kedalam kriteria bayi dan balita.Umur 5-14 tahun tergolong kriteria anak-anak dan usia sekolah. Umur 15-55 tahun merupakan usia produktif manusia yaitu yang termasuk ke dalam angkatan kerja. Umur 56 ke atas adalah usia lansia, yaitu usia yang tidak produktif lagi untuk bekerja.
·         Tingkat Pendidikan
Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy sebagian besar menamatkan pendidikannya ditingkat SD yaitu sebanyak 2.139 laki-laki (82,2%) dan 1.808 perempuan (89,5%). Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Desa Cipeuteuy selain karena penghasilan mereka yang dibawah rata-rata sehingga tidak mampu membiayai pendidikan sampai ke jenjang yang tinggi juga karena penduduk Desa Cipeuteuy kurang memahami pentingnya pendidikan untuk masa depan. Terlebih akses sekolah yang relatif jauh dari tempat tinggal penduduk.

·         Mata Pencaharian
Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani, sehinggabiasanya setiap satu kepala keluarga memiliki lahan untuk diolah baik itu lahan milik sendiri maupun lahan garapan bekas pengelolaan Perhutani. Untuk penduduk yang tidak memiliki lahan baik itu lahan pribadi maupun garapan dan tidak memiliki keahlian lain, biasanya mereka bekerja menjadi buruh tani di lahan-lahan milik tetangganya sendiri. Sebagian penduduk Desa Cipeuteuy bertani dengan cara berkebun. Tanaman yang ditanam di lahan tersebut adalah tanaman sayur mayur seperti sawi, bayam, cabe, tomat, terong, dan tanaman buah-buahan seperti pisang, pepaya, dan lain-lain. Ada juga petani yang menjadikan lahannya sebagai sawah dengan menanam padi.












VI. HASIL DAN PEMBAHASAN


A.   Gagasan dan Nilai Konservasi

Dalam interaksinya dengan hutan yang berupa larangan belajar dalam kehidupan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) masyarakat Cipeuteuy untuk mengadopsi masyarakat yang berupa larangan.
1.      Larangan memasuki kawasan
Saat TNGHS masih berstatus cagar alam yaitu pada tahun 1953-1992, masyarakat sudah mengetahui adanya larangan memasuki cagar alam tersebut. Selain itu, ada aturan yang tidak tertulis dalam masyarakat untuk membatasi akses masyarakat  ke dalam kawasan cagar alam. Ada beberapa tempat  yang dilarang dimasuki masyarakat. Tempat tersebut dianggap tempat keramat  yang dihuni oleh makhluk gaib dan tidak boleh sama sekali dijamah oleh masyarakat. Masyarakat meyakini bahwa akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada dirinya  jika memasuki dan merusaki tempat keramat tersebut. Akan tetapi tidak ada sanksi yang diterapkan masyarakat kepada warga yang  melakukan pelanggaran tersebut, masyarakat tidak memasuki kawasan berdasarkan kesadaran untuk melindungi dirinya sendiri dari ancaman-ancaman yang mereka yakini ada. Masyarakat berangggapan bahwa sanksi akan diberikan langsung oleh makhluk gaib yang tinggal di dalam hutan.
2.      Larangan Menebang Pohon
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) telah melarang masyarakat menebang pohon yang terdapat di dalam kawasan TNGHS dan mensosialisasikannya kepada masyarakat. Akan tetapi masih ada masyarakat yang menebang pohon di dalam kawsan TNGHS untuk dijual. Sejauh ini, sudah beberapa kali terjadi kasus penangkapan yang dilakukan petugas terhadap warga yang diketahui menebang pohon di kawasan taman nasional, namun masyarakat Cipeuteuy belum menerapkan sanksi apapun untuk warganya yang diketahui menebang pohon walaupun pihak BTNGHS telah menerapkan sanksi berupa proses hukum bagi masyarakat yang melakukan penebangan pohon.
3.      Larangan Menggarap Lahan
Pada tahun 2003 telah terjadi pengalihan fungsi kawasan yang semula hutan produksi Perum Perhutani menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sejak saat itu masyarakat Cipeuteuy tidak lagi diperbolehkan menggarap lahan hutan produksi tersebut. Saat dikelola oleh Perum Perhutani, masyarakat bekerja sama dengan pihak Perhutani dalam mengelola hutan produksi. Masyarakat diperbolehkan menggarap lahan tersebut dengan menanami lahan dengan tanaman lain seperti tanaman pangan dan perkebunan selain tanaman pokok Perhutani. Saat ini masyarakat belum bisa melepaskan lahan garapannyameskipun telah ada aturan yang jelas dari BTNGHS yang melarang masyarakat menggarap lahan. BTNGHS belum memberikan sanksi apapun bagi masyarakat yang tetap menggunakan lahan garapan tetapi memberikan himbaun agar masyarakat mau menanami lahan garapannya dengan tanaman asli taman nasional seperti puspa dan tanaman kayu lainnya tanpa ditebang atau dipanen kembali.
 Tetapi pada umumnya masyarakat tidak melakukan himbauan yang telah diberikan karena mereka menyadari tidak akan dapat bercocok tanam dengan tanaman lain di lahan tersebut jika tanaman kayu yang ditanam telah tumbuh besar. Beberapa warga hanya menanam tanaman kayu dipinggir-pinggir lahan sebagai tabungan jika sewaktu-waktu diperlukan untuk dijual kayunya.

4.      Larangan Menjual Hasil Hutan
Aturan tidak boleh menjual hasil hutan datang dari BTNGHS sebagai pihak pengelola hutan. Masyarakat Cipeuteuy lebih banyak mengambil hasil hutan dan memanfaatkannya untuk pemenuhan kebutuhan sendiri, hal tersebut timbul dari kesadaran diri sendiri bahwa hutan tidak boleh dieksploitasi dengan mengambil banyak hasil hutan lalu menjualnya ke pihak lain.


Masyarakat dengan sendirinya melakukan pembatasan terhadap penggunaan hasil hutan sebagai bentuk upaya dalam melestarikan hutan. Sama halnya dengan beberapa larangan di atas, tidak ada sanksi yang diterapkan oleh masyarakat bagi warganya yang menjual hasil hutan. Sanksi yang diterapkan hanya sanksi dari pihak BTNGHS berupa proses hukum dengan diserahkan kepada pihak kepolisian.

B.    Klasifikasi Larangan
·        Berdasarkan Tingkat Sanksi
Dari keempat bentuk larangan yang ada dalam masyarakat Cipeuteuy, hanya satu larangan yang merupakan aturan yang tumbuh dalam masyarakat dengan sendirinya, yaitu larangan memasuki wilayah cagar alam. Tiga larangan lainnya merupakan proses adopsi masyarakat dari aturan yang telah disosialisasikan oleh BTNGHS. Dilihat dari tingkat sanksinya larangan tersebut terbagi dua, yaitu larangan dengan sanksi keras dan larangan dengan sanksi ringan.
Larangan yang termasuk ke dalam sanksi keras yaitu larangan menebang pohon dan menjual hasil hutan. Sanksi bagi larangan tersebut adalah dengan diserahkan kepada pihak berwajib atau kepolisian untuk diproses secara hukum, sedangkan yang termasuk larangan kedalam sanksi ringan adalah larangan memasuki kawasan cagar alam dan larangan menggarap lahan. Saat ini masyarakat telah jarang yang tertangkap memasuki kawasan yang semula ditetapkan sebagai cagar alam karena lokasinya yang relatif jauh dan karena kebutuhan masyarakat telah dapat terpenuhi tanpa harus masuk ke dalam kawasan tersebut. Bagi masyarakat yang menggarap lahan tidak diberikan sanksi apapun. BTNGHS hanya memberikan himbauan untuk menanami lahan garapan masyarakat dengan tanaman asli taman nasional.






·         Berdasarkan Jangka Waktu
Dilihat dari jangka waktunya, larangan tersebut ada yang berlaku selama periode waktu tertentu dan ada yang berlaku selamanya. Untuk larangan yang berlaku selama periode waktu tertentu adalah larangan menggarap lahan. Sesuai dengan himbauan dan sosialisasi yang telah dilakukan oleh BTNGHS, masyarakat diperbolehkan menggarap lahan bersamaan dengan menanam tanaman berkayu. Sehingga apabila tanaman berkayu tersebut telah tumbuh dan lahan tidak memungkinkan lagi untuk ditumpangsarikan maka masyarakat dengan sendirinya diharapkan meninggalkan lahan garapan tersebut.

·         Berdasarkan Tempat
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan P. 56 /Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional, fungsi zona inti yaitu untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, maka tidak boleh terdapat aktivitas pemanfaatan apapun yang dilakukan oleh masyarakat.
Pemanfaatan yang boleh dilakukan oleh masyarakat hanya pada zona khusus yang memiliki fungsi untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut sebelum ditunjuk dan ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan Iistrik.







C.     Interaksi Masyarakat Dengan Hutan
Masyarakat Cipeuteuy mengetahui bahwa hutan memberikan manfaat yang besar dalam memenuhi kebutuhan hidup. Mereka memiliki keyakinan bahwa hutan harus dijaga agar manfaat yang dapat mereka rasakan tidak hilang. Bentuk pemanfaatan masyarakat dikategorikan menjadi dua berdasarkan tingkat urgensitas atau kebutuhan. Tingkat urgensitas atau kebutuhan rendah yaitu bentuk pemanfaatan yang dilakukan secara temporal dan bukan merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Tingkat urgensitas/kebutuhan tinggi yaitu bentuk pemanfaatan yang dilakukan secara terus menerus dan merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Dapat dilihat bahwa aktivitas penebangan pohon lebih sedikit dibandingkan dengan aktivitas lainnya yaitu sebanyak 2 orang atau 6,67 %. Hal ini karena penebangan pohon oleh masyarakat dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah masyarakat dan tidak dilakukan secara continue. Artinya aktifitas ini tidak dilakukan setiap hari atau dalam periode tertentu sebagai mata pencaharian sehingga untuk aktifitas menebang pohon dikategorikan ke dalam tingkat urgensitas rendah. Informan yang melakukan budidaya pertanian di lahan kawasan taman nasional sebanyak 10 orang yaitu 33,33 % dari seluruh informan. Persentase yang lebih besar ini menunjukan bahwa masyarakat lebih membutuhkan lahan untuk bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tidak seperti kebutuhan akan kayu yang bersifat temporal (hanya saat belum memiliki rumah). Begitu juga dengan kegiatan mengambil kayu bakar dan rumput untuk pakan ternak yang persentasinya lebih besar, hal itu didasarkan pada kebutuhan sehari-hari masyarakat sehingga urgensitasnya tergolong tinggi.
Kegiatan pemanfaatan tersebut masih dilakukan semata-mata karena kebutuhan ekonomi masyarakat meskipun di sisi lain masyarakat memahami bahwa tindakan mereka dapat merusak kelestarian hutan. Seperti dikemukakan
oleh salah satu warga:
“….Kalo dulu masih boleh waktu perhutani yang ngelola neng. Tapi
sekarang mah udah gak boleh nebang pohon, ngegarap. Tapi ya buat
makan sehari-hari jadi ditanamin aja sama padi, sayuran…..”


Pada umumnya masyarakat mengatakan bahwa mereka membutuhkan
pengganti atau kompensasi agar tetap dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari tanpa harus merusak hutan dan melanggar aturan yang dikeluarkan oleh BTNGHS.

1.      Budidaya Pertanian
Salah satu kegiatan yang dilakukan masyarakat adalah melakukan budidaya pertanian di lahan kawasan taman nasional. Pada Saat hutan dikelola oleh Perhutani kegiatan tersebut diperbolehkan, tetapi setelah kawasan ditetapkan menjadi taman nasional kegiatan tersebut dilarang. Sebagian masyarakat telah terbiasa menggunakan lahan tersebut dan tidak bisa begitu saja dihentikan meskipun telah ada larangan yang jelas. Mereka tetap menggarap dan menggunakan lahan kawasan taman nasional untuk bertani sawah maupun kebun.
Hal itu dilakukan karena beberapa anggota masyarakat tidak memiliki lahan milik pribadi yang dapat dimanfaatkan sehingga satu-satunya yang bisa digunakan adalah lahan kawasan taman nasional.




2.      Menebang Pohon
Penebangan pohon dilakukan oleh sebagian warga masyarakat untuk bahan pembuatan rumah. Masyarakat menebang pohon karena mahalnya harga bahan bangunan dan harga kayu jika membeli kayu secara legal. Sementara pendapatan masyarakat pada umumnya tidak mencukupi, di sisi lain mereka sangat membutuhkan tempat tinggal. Penebangan pohon untuk pembuatan rumah telah dilakukan sejak dahulu hingga sekarang. Mereka terbiasa memanfaatkan apa yang
dihasilkan hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat menebang pohon hanya sebatas kebutuhan mereka. Biasanya kebutuhan kayu untuk membuat rumah sekitar 4 sampai 5 meter kubik. Kayu yang dijadikan bahan baku pembuatan rumah diantaranya jenis Puspa, Waru, Huru, Sengon, Manii, dan Rasamala. Jenis-jenis tersebut dipilih karena jenis tersebut tersedia di hutan.
Penebangan pohon dilakukan secara individu oleh orang/keluarga yang membutuhkan. Sebelum penebangan dilakukan, biasanya mereka meminta permohonan dengan sesaji atau kemenyan dan mengucap doa-doa agar penghuni pohon tersebut tidak mengganggu proses penebangan. Dalam proses menebang pohon, biasanya mereka menentukan arah rebah terlebih dahulu. Pohon yang rebah diarahkan pada tempat atau lahan yang aman agar tidak menimbulkan
kerusakan pada tanaman lain di sekitarnya.
Penentuan arah rebah ini juga didasarkan pada arah angin dan arah tajuk pohon agar penebangan dapat dilakukan dengan lebih mudah. Setelah itu dibuat takik rebah dan takik balas pada pohon yang akan ditebang kira-kira 40-60 cm di atas permukaan tanah dengan tujuan mempermudah proses penebangan. Alat yang biasa digunakan masyarakat untuk menebang kayu adalah golok dan kapak. Masyarakat tidak pernah menggunakan chainsaw karena harganya yang relatif mahal, selain itu penebangan pohon juga relatif jarang dilakukan kecuali jika masyarakat membutuhkan kayu untuk membuat rumah.



3.    Mengambil Kayu Bakar
Pengambilan kayu untuk kebutuhan bahan bakar rumah tangga dilakukan sesuai dengan kebutuhan rumah tangga masing-masing. Saat ini tidak semua rumah tangga masih memakai kayu bakar karena pada umumnya mereka sudah menggunakan gas sebagai bahan bakar. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada penduduk yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar.
Masyarakat yang menebang kayu relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, hal ini terjadi setelah pembatasan dari BTNGHS diperketat dan sanksi yang telah dibuat,. Terlebih setelah ada beberapa kasus seperti penangkapan penduduk yang tertangkap memiliki kayu ilegal. Penduduk yang tertangkap menebang atau memiliki kayu ilegal diserahkan kepada yang berwajib untuk diproses secara hukum.

D.   PERAN PENGETAHUAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL MASYARAKAT
Pengetahuan yang dimiliki masyarakat sangat penting bagi kelestarian
kawasan taman nasional. Penanaman tanaman berkayu di lahan garapan
masyarakat awalnya adalah anjuran dari pihak BTNGHS yang ingin
mengembalikan lahan garapan menjadi hutan dengan tanaman asli taman
nasional. Akan tetapi masyarakat enggan melakukannya karena mereka masih
membutuhkan lahan untuk bertani. Di sisi lain sebagian masyarakat juga
menanami lahan mereka dengan tanaman berkayu yang ditanam di pinggir-pinggir lahan pertanian. Tanaman berkayu tersebut ditanam karena diyakini dapat menyuburkan tanah dan mencegah erosi.
Selain itu sebagian masyarakat menanam tanaman berkayu sebagai simpanan untuk ditebang dan dijual jika suatu saat membutuhkannya. Pengetahuan lokal masyarakat dalam membuka lahan yaitu pembakaran
semak belukar, ranting, dan daun dengan tujuan membersihkan lahan dan
mematikan hama penyakit. Menebang pohon dilakukan dengan memperhatikan
arah rebah pohon dan arah angin. Arah rebah ditentukan agar tidak mengenai dan merusak pohon lain yang mungkin terkena saat proses penebangan berlangsung. Hal tersebut juga dilakukan untuk menghindari kerusakan yang timbul pada kayu akibat penebangan.

E.      PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL
Partisipasi masyarakat Cipeuteuy dalam pengelolaan kawasan taman
nasional diantaranya dilakukan dengan membatasi interaksi mereka dengan hutan. Pembatasan yang dilakukan diantaranya pembatasan penebangan pohon,
pembatasan pengambilan kayu bakar dan pembatasan mengambil rumput
langsung dari kawasan hutan, tidak melakukan perburuan, dan tidak menambah atau memperluas lahan garapan. Masyarakat dapat melakukan pembatasan
tersebut karena adanya perubahan pola pikir masyarakat sedikit demi sedikit.
Partisipasi masyarakat Desa Cipeuteuy juga dapat dilihat dari penerapan
nilai-nilai tradisional yang dimiliki oleh masyarakat. Nilai tersebut berupa
larangan memasuki kawasan cagar alam. Selain itu terdapat larangan menebang
pohon, larangan menggarap lahan, dan larangan menjual hasil hutan.
 Larangan-larangan tersebut muncul akibat adanya peraturan dari BTNGHS yang dilebur dengan aturan masyarakat Cipeuteuy, sehingga secara tidak langsung hal tersebut membangun kesadaran dan kesediaan masyarakat untuk ikut serta dalam menjaga dan melestarikan kawasan hutan.
Hal lain yang merupakan bentuk partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan TNGHS yaitu kerjasama warga masyarakat dengan BTNGHS. Kerjasama tersebut yaitu dengan membentuk tim patroli hutan. Patroli hutan dilakukan untuk menjaga kawasan TNGHS dari perburuan, penebangan, penjarahan dan pencurian kayu. Kerjasama dengan masyarakat dilakukan karena petugas BTNGHS tidak dapat bekerja sendiri dalam menjaga kawasan taman nasional yang luasnya mencapai 113.357 hektar. Untuk itu peran nyata masyarakat sangat diperlukan. Dari 30 penduduk yang diwawancarai sebanyak empat orang atau 13,33 % ikut melakukan patroli hutan bersama petugas, sedangkan dua puluh enam (26) orang menyatakan tidak atau sangat jarang. Masyarakat yang ikut dalam kegiatan patroli yaitu masyarakat yang memiliki kedekatan atau hubungan langsung dengan pihak BTNGHS.

2 komentar: