2.1
Taman Nasional
Menurut
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahun, pendidikan,
menunjang budaya, pariwisata dan
rekreasi.
Taman
Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola
dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan
rekreasi alam (Peraturan
Pemerintah No.68 Tahun 1998).
Dalam SK
Menteri Kehutanan No. 435/kpts-II/89 memuat ketentuan Taman Nasional merupakan
kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi terdiri dari zona
inti, zona penyangga, zona pemanfaatan serta zona-zona lain yang dimanfaatkan
untuk tujuan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekeasi dan pendidikan. Meningkatkan
pengelolaan kawasan hutan konservasi alam secara terpadu dalam bentuk Taman
Nasional dalam rangka mewujudkan pemeliharaan, perlindungan, pengawetan, dan
pelestarian manfaat sumber daya alam hutan baik barang maupun jasa, secara
terpadu, selaras, seimbang dan lestari. Salah satu bentuk hutan konservasi
dikelola Taman Nasional yang
merupakan kawasan pelestarian
alam dengan pengelolaan berdasarkan zonasi.
Taman Nasional melakukan zonasi
untuk menentukan zona mana yang dapat
digunakan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat untuk rekreasi, pendidikan,
penelitian, dan penunjang
budidaya (biasanya dinamakan zona pemanfaatan) dan zona mana yang benar-benar
dijaga untuk kelangsungan seluruh komponen
kehidupan. Zona yang dijaga
tersebut biasanya disebut dengan zona inti. Agar
tidak terjadi kontak langsung
yang merugikan, antara zona inti dengan zona
pemanfaatan pun terdapat zona
penyangga.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 68
Tahun 1998 disebutkan bahwa suatu
kawasan ditunjuk sebagai Kawasan
Taman Nasional, apabila telah memenuhi
kriteria sebagai berikut :
a.
Kawasan yang
ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses
ekologis secara alami.
b.
Memiliki sumber daya
alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya
serta gejala alam yang masih utuh dan alami.
c.
Memiliki satu atau
bebrapa sistem yang masih utuh
d.
Memiliki keadaan alam
yang asli dan alami untuk dikembangkan
e.
Sebagai pariwisata
alam
f.
Merupakan kawasan
yang dapat dibagi kedalam zona lain yang karena pertimbangan kepentingan
rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka
mendukung upaya pelestarian sumber daya hayati dan ekosistemnya, dapat
ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Kawasan ekosistem Halimun merupakan satu-satunya kawasan di Pulau Jawa
bagian barat yang masih memiliki kekayaan ekosistem hutan hujan tropis, yang
juga merupakan salah satu penyangga atau pendukung penting sistem kehidupan
mengingat fungsinya sebagai kawasan resapan air (water-catchment area), terutama
yang berhubungan dengan ketersediaan sumber daya air di tiga propinsi (Jawa
Barat, DKI Jakarta dan Propinsi Banten). Kekayaan lainnya adalah
kandungan bahan tambang yang bernilai ekonomi tinggi seperti emas,
bentonit,
kapur, dan lain-lain yang dilirik dan diperebutkan banyak pihak
sehingga
menimbulkan konflik multipihak.
2.2 Masyarakat Sekitar Hutan
Masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah warga negara yang
belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan. Karena secara geografis, letaknya
sangat terpencil. Dimana jangkauan, akses informasi, pendidikan dan mata pencahariannya
serba terbatas. Dengan kondisi demikian, maka sudah sewajarnya masyarakat
tersebut diberdayakan melalui berbagai kegiatan pembangunan. Terutama yang
terkait dengan pembangunan hutan sebagai sumber daya yang paling dekat dengan
keberadaan mereka. Pernyataannya itu sejalan dengan visi pembangunan kehutanan:
pembangunan hutan yang lestari dan dapat mensejahterakan masyarakat yang
merupakan salah satu bagian penting dalam pengelolaan hutan dan bagian dari
ekosistem hutan (Fenny 2009).
Menurut Mainawati (2004) pengelolaan hutan tidak hanya
dilaksanakan oleh pemerintah melainkan memerlukan peran aktif dari masyarakat
yang bisa berfungsi sebagai kontrol sosial.
Pengalaman menunjukkan bahwa adanya akses masyarakat lokal terhadap
pemanfaatan hutan dan terhadap proses perumusan kebijakan akan mengurangi banyak
permasalahan dalam pengelolaan hutan. Namun dalam prakteknya, terjadi biasa
yang sangat besar antara pihak (stakeholders)
yang berkepentingan terhadap hutan. Pengakuan akses masyarakat
jarang diterapkan dilapangan dan persoalan malahan bertambah oleh anggapan
mengenai rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lokal, kelembagaan lokal yang
tidak berkembang, dan diabaikannya isu-isu budaya lokal oleh para perencana
pembangunan.
Meskipun interaksi saling menguntungkan antara hutan dan
masyarakat tersebut dapat dijumpai di banyak tempat dan dalam berbagai karakter
masyarakat lokal, kesempatan yang tersedia bagi berkembangnya praktek-praktek
pengelolaan hutan di tingkat lokal amatlah sempit, bila tak bisa disebut tidak ada sama sekali.
2.3 Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Dalam konteks sumberdaya hutan menurut Suharjito et al. (2000)
pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) adalah sistem
pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu komunitas,
pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individual/rumah
tangga) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan masyarakat, serta diusahakan
secara komersial ataupun subsisten.
PHBM merupakan suatu instrumen untuk mencapai tujuan pengelolaan
hutan yaitu kelestarian hutan, keseimbangan ekologis dan
kesejahteraan
masyarakat. Dengan kata lain adalah suatu kondisi dimana
kepentingan para pihak dapat terpenuhi. Kegiatan pengelolaan hutan oleh
masyarakat bermitra dengan perusahaan HTI memiliki kelebihan antara lain
masyarakat mendapat bimbingan teknis, bantuan modal, jaminan kesempatan kerja
dan kepastian pemasaran kayunya.
2.4 Pengetahuan Masyarakat
Pengetahuan merupakan kapasitas manusia untuk memahami dan menginterpretasikan
baik hasil pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa
digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan
dalam
keputusan. Pengetahuan merupakan keluaran dari proses pemahaman
dan
interpretasi yang masuk akal. Namun pegetahuan bukanlah merupakan
kebenaran yang bersifat mutlak. Pengetahuan sendiri tidak mengarah ke suatu
tindakan nyata.
Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh
manusia
melalui pengematan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seorang
menggunakan indera atau akal budinya untuk menggali benda atau kejadian
tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya .
2.5 Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
Widada (2006) mengatakan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui tiga
kegiatan pokok, yaitu:
1.
Perlindungan sistem penyangga
kehidupan.
2.
Pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
3.
Pemanfaatan secara lestari sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya.
I.
KONDISI UMUM DAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK.
A.
Kondisi Biofisik Taman Nasional Gunung Halimun Salak
·
Letak
Secara geografis Taman Nasional Gunung Halimun Salak terletak pada
106012’58’’ BT-106045’50’’ BT dan 06032’14’’ LS-06055’12’’ LS. Secara administratif
wilayah kerja Taman Nasional Gunung Halimun Salak termasuk dalam tiga wilayah
administratif pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten
Sukabumi dan Kabupaten Lebak (BTNGHS 2007). Kantor Balai Taman Nasional Gunung
Halimun Salak dapat dijangkau dengan kendaraan darat. Perjalanan dari Jakarta
menempuh waktu 3 jam dengan jarak 125 km melalui rute perjalanan
Jakarta-Bogor-Parungkuda-Kabandungan, sedangkan dari Bandung dapat ditempuh
dalam 4 jam dengan jarak 152 km melalui rute perjalanan
Bandung-Sukabumi-Parungkuda-Kabandungan.

(peta desa cipeuteuy)
·
Tanah
Geologi kawasan TNGHS merupakan bagian dari deretan pegunungan Sumatera.
Sebagian besar kawasan tersusun atas batuan vulkanik breksi, basaltik dan lava
andesit dari periode Pleistosin dan beberapa strata dictic dari periode Prepleiosin
(sekitar 10-20 juta tahun yang lalu). Berdasarkan peta tanah tinjau Jawa Barat,
jenis tanah di daerah ini terdiri atas asosiasi andosol coklat dan regosol
coklat, asosiasi latosol coklat dan latosol coklat kekuningan, latosol coklat kemerahan
dan latosol coklat, asosiasi latosol coklat kemerahan dan laterit, komplek
latosol coklat kemerahan dan lithosol, asosiasi latosol coklat dan regosol kelabu
(LP Tanah, 1966). Bahkan Gunung Salak sampai saat ini masih berstatus gunung
berapi gunung berapi strato type A dan tercatat terakhir meletus tahun 1938.
Gunung Salak memiliki kawah yang masih aktif dan dikenal dengan nama Kawah Ratu.
·
Topografi
Kawasan TNGHS mempunyai ketinggian tempat berkisar 500-2.211 mdpl.
Topografinya bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung. Di sekitar kawasan
TNGHS terdapat bukit memanjang mulai dari Gunung Endut (di sebelah barat)
melintas Gunung Kendeng (di kawasan baduy) kemudian perlahan menurun sampai ke
Gunung Honje dan semenanjung Ujung Kulon. Sedangkan di sebelah timur
berhubungan dengan Gunung Gede Pangrango yang dipisahkan oleh Sungai Citatih,
Sungai Cisadane dan jalan Propinsi Ciawi-Sukabumi.
·
Iklim dan Curah Hujan
Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) iklim di daerah
kawasan TNGHS termasuk tipe A, dengan curah hujan tahunan sebesar 4.000 – 6.000
mm. Rata-rata curah hujan bulanan selalu > 100 mm, dengan bulan terkering (+
200 mm) pada Juni sampai Septermber dan terbasah (+500 mm) antara Oktober-
Maret, sehingga dapat digolongkan beriklim selalu basah dengan kelembaban udara
rata-rata 88%. Suhu rata-rata bulanan 31,50C dengan suhu terendah 19,70C dan
suhu tertinggi 31,80C.
·
Flora
Lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga hidup di hutan alam di
dalam TNGHS, yang meliputi 391 marga dari 119 suku. Tipe hutan alam di kawasan TNGHS
dibagi menjadi hutan hujan dataran rendah (100-1.000 mdpl) yang didominasi oleh
Zona Collin (500-1.000 mdpl), hutan hujan pegunungan bawah atau sub montana
(ketinggian 1.000-1.500 mdpl) dan hutan hujan pegunungan tengah atau hutan
montana (ketinggian 1.500-1.929 mdpl). Pada ketinggian 1.400- 1.929 mdpl banyak
dijumpai jenis-jenis Gimnospermae seperti jamuju (Dacrycapus imbricatus), kiputri (Podocarpus neriifolius) dan kibima
(P. amara).
Sedangkan pada ketinggian 1.000-1.200 mdpl terdapat pohon-pohon
yang
tingginya mencapai 40-45 m dengan diameter 120 cm, jenis-jenisnya
antara lain rasamala (Altingia excelsa), saninten (Castanopsis argentea), pasang (Quercussp.) dan huru (Litsea sp.). pada ketinggian 600-700 mdpl beberapa jenis anggota Suku Dipterocarpaceae yang
merupakan ciri hutan hujan dataran rendah dapat ditemukan dikawasan Gunung
halimun, yaitu: Dipterocarpus trinervis, D. Gracillis
dan D. Hasseltii. Didaerah perluasan ditemukan hutan tanaman , terutama di areal
yang dulunya berstatus sebagai hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola
Perum Perhutani, antara lain hutan tanaman rasamala (Altingia excelsa), pinus (Pinus merkusii), damar (Agathis sp.) dan puspa (Schima wallichii).
·
Fauna
TNGHS memiliki keanekaragaman satwa liar yang tinggi, diantaranya
244 jenis burung atau setara dengan 50% dari jumlah jenis burung yang hidup di
Jawa dan Bali, 61 jenis mamalia, 27 jenis amfibi, 50 jenis reptilia, berbagai
jenis serangga, diantaranya 26 jenis capung. Jenis penciri (Flagship Species) TNGHS adalah
owa jawa (Hylobates moloch), macan tutul (Panthera
pardus melas) dan elang jawa (Spizaetus bartelsi), serta kukang
(Nycticebus coucang) (BTNGHS 2007).
B. Kondisi Sosial dan Ekonomi Desa
Cipeuteuy
·
Administrasi Pemerintahan
Dalam administrasi pemerintahan Desa Cipeuteuy terletak di
Kecamatan
Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Desa Cipeuteuy terbagi ke dalam 5
dusun yaitu Dusun Cipeuteuy, Dusun Cisalimar, Dusun Lewiwaluh, Dusun Arendah,
dan Dusun Cisarua. Pemerintahan Desa Cipeuteuy dipimpin oleh
Kepala Desa dan dibantu oleh perangkat desa. Secara administratif batas-batas
Desa Cipeuteuy adalah sebagai berikut:
1.
Sebelah utara bebrbatasan dengan
Desa Purwabakti, kecamatan pamijahan, kabupaten bogor.
2.
Sebelah selatan berbatasan dengan
Desa Cihamerang, kecamatan kebandungan, kabupaten sukabumi.
3.
Sebelah timur berbatasan dengan
Desa Kabandungan, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi.
4.
Sebelah barat berbatasan dengan
Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.
·
Demografi
Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy yang tercatat dalam profil desa
tahun 2008 sebanyak 6.654 jiwa yang terdiri dari 3.369 laki-laki (50,63 %) dan
3.285 perempuan (49,37 %). Jumlah kepala keluarga di Desa Cipeuteuy sebanyak
1.654 KK. Kepadatan penduduknya mencapai 562 jiwa/Km2. Sedangkan tahun
sebelumnya, jumlah penduduk Desa Cipeuteuy sebanyak 6.352 jiwa
yang terdiri dari 3.236 laki-laki dan 3.116 perempuan. Terdapat pertambahan
penduduk sebanyak 302 jiwa (4,75 %) yang terdiri dari 133 orang laki-laki dan
169 perempuan. Pembagian umur masyarakat terbagi menjadi beberapa klasifikasi.
Kelas umur 0-4 tahun tergolong kedalam kriteria bayi dan
balita.Umur 5-14 tahun tergolong kriteria anak-anak dan usia sekolah. Umur
15-55 tahun merupakan usia produktif manusia yaitu yang termasuk ke dalam
angkatan kerja. Umur 56 ke atas adalah usia lansia, yaitu usia yang tidak
produktif lagi untuk bekerja.
·
Tingkat Pendidikan
Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy sebagian besar menamatkan pendidikannya
ditingkat SD yaitu sebanyak 2.139 laki-laki (82,2%) dan 1.808 perempuan
(89,5%). Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Desa Cipeuteuy selain karena
penghasilan mereka yang dibawah rata-rata sehingga tidak mampu membiayai
pendidikan sampai ke jenjang yang tinggi juga karena penduduk Desa Cipeuteuy
kurang memahami pentingnya pendidikan untuk masa depan. Terlebih akses sekolah
yang relatif jauh dari tempat tinggal penduduk.
·
Mata Pencaharian
Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani,
sehinggabiasanya setiap satu kepala keluarga memiliki lahan untuk diolah baik
itu lahan milik sendiri maupun lahan garapan bekas pengelolaan Perhutani. Untuk
penduduk yang tidak memiliki lahan baik itu lahan pribadi maupun garapan dan tidak
memiliki keahlian lain, biasanya mereka bekerja menjadi buruh tani di lahan-lahan
milik tetangganya sendiri. Sebagian penduduk Desa Cipeuteuy bertani dengan cara
berkebun. Tanaman yang ditanam di lahan tersebut adalah tanaman sayur mayur
seperti sawi, bayam, cabe, tomat, terong, dan tanaman buah-buahan seperti
pisang, pepaya, dan lain-lain. Ada juga petani yang menjadikan lahannya sebagai
sawah dengan menanam padi.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gagasan
dan Nilai Konservasi
Dalam interaksinya dengan hutan yang
berupa larangan belajar dalam kehidupan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
(BTNGHS) masyarakat Cipeuteuy untuk mengadopsi masyarakat yang berupa larangan.
1.
Larangan memasuki kawasan
Saat TNGHS
masih berstatus cagar alam yaitu pada tahun 1953-1992, masyarakat sudah
mengetahui adanya larangan memasuki cagar alam tersebut. Selain itu, ada aturan
yang tidak tertulis dalam masyarakat untuk membatasi akses masyarakat ke dalam kawasan cagar alam. Ada beberapa
tempat yang dilarang dimasuki
masyarakat. Tempat tersebut dianggap tempat keramat yang dihuni oleh makhluk gaib dan tidak boleh
sama sekali dijamah oleh masyarakat. Masyarakat meyakini bahwa akan terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan pada dirinya jika
memasuki dan merusaki tempat keramat tersebut. Akan tetapi tidak ada sanksi
yang diterapkan masyarakat kepada warga yang melakukan pelanggaran tersebut, masyarakat
tidak memasuki kawasan berdasarkan kesadaran untuk melindungi dirinya sendiri
dari ancaman-ancaman yang mereka yakini ada. Masyarakat berangggapan bahwa
sanksi akan diberikan langsung oleh makhluk gaib yang tinggal di dalam hutan.
2.
Larangan Menebang Pohon
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) telah melarang masyarakat
menebang pohon yang terdapat di dalam kawasan TNGHS dan mensosialisasikannya
kepada masyarakat. Akan tetapi masih ada masyarakat yang menebang pohon di
dalam kawsan TNGHS untuk dijual. Sejauh ini, sudah beberapa kali terjadi kasus
penangkapan yang dilakukan petugas terhadap warga yang diketahui menebang pohon
di kawasan taman nasional, namun masyarakat Cipeuteuy belum menerapkan sanksi
apapun untuk warganya yang diketahui menebang pohon walaupun pihak BTNGHS telah
menerapkan sanksi berupa proses hukum bagi masyarakat yang melakukan penebangan
pohon.
3.
Larangan Menggarap Lahan
Pada tahun 2003 telah terjadi pengalihan fungsi kawasan yang
semula hutan produksi Perum Perhutani menjadi kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak. Sejak saat itu masyarakat Cipeuteuy tidak lagi diperbolehkan
menggarap lahan hutan produksi tersebut. Saat dikelola oleh Perum Perhutani,
masyarakat bekerja sama dengan pihak Perhutani dalam mengelola hutan produksi. Masyarakat
diperbolehkan menggarap lahan tersebut dengan menanami lahan dengan tanaman
lain seperti tanaman pangan dan perkebunan selain tanaman pokok Perhutani. Saat
ini masyarakat belum bisa melepaskan lahan garapannyameskipun telah ada aturan
yang jelas dari BTNGHS yang melarang masyarakat menggarap lahan. BTNGHS belum
memberikan sanksi apapun bagi masyarakat yang tetap menggunakan lahan garapan
tetapi memberikan himbaun agar masyarakat mau menanami lahan garapannya dengan
tanaman asli taman nasional seperti puspa dan tanaman kayu lainnya tanpa
ditebang atau dipanen kembali.
Tetapi pada umumnya
masyarakat tidak melakukan himbauan yang telah diberikan karena mereka
menyadari tidak akan dapat bercocok tanam dengan tanaman lain di lahan tersebut
jika tanaman kayu yang ditanam telah tumbuh besar. Beberapa warga hanya menanam
tanaman kayu dipinggir-pinggir lahan sebagai tabungan jika sewaktu-waktu
diperlukan untuk dijual kayunya.
4.
Larangan Menjual Hasil Hutan
Aturan tidak boleh menjual hasil hutan datang dari BTNGHS sebagai
pihak pengelola hutan. Masyarakat Cipeuteuy lebih banyak mengambil hasil hutan
dan memanfaatkannya untuk pemenuhan kebutuhan sendiri, hal tersebut timbul dari
kesadaran diri sendiri bahwa hutan tidak boleh dieksploitasi dengan mengambil banyak
hasil hutan lalu menjualnya ke pihak lain.
Masyarakat dengan sendirinya melakukan pembatasan terhadap
penggunaan hasil hutan sebagai bentuk upaya dalam melestarikan hutan. Sama
halnya dengan beberapa larangan di atas, tidak ada sanksi yang diterapkan oleh
masyarakat bagi warganya yang menjual hasil hutan. Sanksi yang diterapkan hanya
sanksi dari pihak BTNGHS berupa proses hukum dengan diserahkan kepada pihak
kepolisian.
B.
Klasifikasi Larangan
·
Berdasarkan Tingkat Sanksi
Dari keempat bentuk larangan yang ada dalam masyarakat Cipeuteuy,
hanya satu larangan yang merupakan aturan yang tumbuh dalam masyarakat dengan
sendirinya, yaitu larangan memasuki wilayah cagar alam. Tiga larangan lainnya
merupakan proses adopsi masyarakat dari aturan yang telah disosialisasikan oleh
BTNGHS. Dilihat dari tingkat sanksinya larangan tersebut terbagi dua, yaitu
larangan dengan sanksi keras dan larangan dengan sanksi ringan.
Larangan yang termasuk ke dalam sanksi keras yaitu larangan
menebang pohon dan menjual hasil hutan. Sanksi bagi larangan tersebut adalah
dengan diserahkan kepada pihak berwajib atau kepolisian untuk diproses secara
hukum, sedangkan yang termasuk larangan kedalam sanksi ringan adalah larangan
memasuki kawasan cagar alam dan larangan menggarap lahan. Saat ini masyarakat
telah jarang yang tertangkap memasuki kawasan yang semula ditetapkan sebagai
cagar alam karena lokasinya yang relatif jauh dan karena kebutuhan masyarakat
telah dapat terpenuhi tanpa harus masuk ke dalam kawasan tersebut. Bagi
masyarakat yang menggarap lahan tidak diberikan sanksi apapun. BTNGHS hanya
memberikan himbauan untuk menanami lahan garapan masyarakat dengan tanaman asli
taman nasional.
·
Berdasarkan Jangka Waktu
Dilihat dari jangka waktunya, larangan tersebut ada yang berlaku
selama periode waktu tertentu dan ada yang berlaku selamanya. Untuk larangan
yang berlaku selama periode waktu tertentu adalah larangan menggarap lahan.
Sesuai dengan himbauan dan sosialisasi yang telah dilakukan oleh BTNGHS,
masyarakat diperbolehkan menggarap lahan bersamaan dengan menanam tanaman
berkayu. Sehingga apabila tanaman berkayu tersebut telah tumbuh dan lahan tidak
memungkinkan lagi untuk ditumpangsarikan maka masyarakat dengan sendirinya
diharapkan meninggalkan lahan garapan tersebut.
·
Berdasarkan Tempat
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan P. 56 /Menhut-II/2006
tentang pedoman zonasi taman nasional, fungsi zona inti yaitu untuk
perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang
peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan
dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,
pendidikan, penunjang budidaya, maka tidak boleh terdapat aktivitas pemanfaatan
apapun yang dilakukan oleh masyarakat.
Pemanfaatan yang boleh dilakukan oleh masyarakat hanya pada zona
khusus yang memiliki fungsi untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat
yang tinggal di wilayah tersebut sebelum ditunjuk dan ditetapkan sebagai taman
nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat
dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan Iistrik.
C.
Interaksi Masyarakat Dengan Hutan
Masyarakat Cipeuteuy mengetahui
bahwa hutan memberikan manfaat yang besar dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Mereka memiliki keyakinan bahwa hutan harus dijaga agar manfaat yang dapat mereka
rasakan tidak hilang. Bentuk pemanfaatan masyarakat dikategorikan menjadi dua
berdasarkan tingkat urgensitas atau kebutuhan. Tingkat urgensitas atau kebutuhan
rendah yaitu bentuk pemanfaatan yang dilakukan secara temporal dan bukan
merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Tingkat urgensitas/kebutuhan tinggi
yaitu bentuk pemanfaatan yang dilakukan secara terus menerus dan merupakan
kebutuhan sehari-hari masyarakat. Dapat dilihat bahwa aktivitas penebangan
pohon lebih sedikit dibandingkan dengan aktivitas lainnya yaitu sebanyak 2
orang atau 6,67 %. Hal ini karena penebangan pohon oleh masyarakat dilakukan
hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah masyarakat dan tidak dilakukan secara
continue. Artinya aktifitas ini tidak dilakukan setiap hari atau dalam periode
tertentu sebagai mata pencaharian sehingga untuk aktifitas menebang pohon
dikategorikan ke dalam tingkat urgensitas rendah. Informan yang melakukan
budidaya pertanian di lahan kawasan taman nasional sebanyak 10 orang yaitu
33,33 % dari seluruh informan. Persentase yang lebih besar ini menunjukan bahwa
masyarakat lebih membutuhkan lahan untuk bercocok tanam untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Tidak
seperti kebutuhan akan kayu yang bersifat temporal (hanya saat belum memiliki
rumah). Begitu juga dengan kegiatan mengambil kayu bakar dan rumput untuk pakan
ternak yang persentasinya lebih besar, hal itu didasarkan pada kebutuhan
sehari-hari masyarakat sehingga urgensitasnya tergolong tinggi.
Kegiatan pemanfaatan tersebut masih
dilakukan semata-mata karena kebutuhan ekonomi masyarakat meskipun di sisi lain
masyarakat memahami bahwa tindakan mereka dapat merusak kelestarian hutan.
Seperti dikemukakan
oleh salah satu warga:
“….Kalo dulu masih boleh waktu
perhutani yang ngelola neng. Tapi
sekarang mah udah gak boleh
nebang pohon, ngegarap. Tapi ya buat
makan sehari-hari jadi ditanamin
aja sama padi, sayuran…..”
Pada umumnya masyarakat
mengatakan bahwa mereka membutuhkan
pengganti atau kompensasi agar
tetap dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari tanpa harus merusak hutan dan
melanggar aturan yang dikeluarkan oleh BTNGHS.
1.
Budidaya Pertanian
Salah satu kegiatan yang dilakukan masyarakat adalah melakukan
budidaya pertanian di lahan kawasan taman nasional. Pada Saat hutan dikelola
oleh Perhutani kegiatan tersebut diperbolehkan, tetapi setelah kawasan
ditetapkan menjadi taman nasional kegiatan tersebut dilarang. Sebagian
masyarakat telah terbiasa menggunakan lahan tersebut dan tidak bisa begitu saja
dihentikan meskipun telah ada larangan yang jelas. Mereka tetap menggarap dan menggunakan
lahan kawasan taman nasional untuk bertani sawah maupun kebun.
Hal itu dilakukan karena beberapa anggota masyarakat tidak
memiliki lahan milik pribadi yang dapat dimanfaatkan sehingga satu-satunya yang
bisa digunakan adalah lahan kawasan taman nasional.

2.
Menebang Pohon
Penebangan pohon dilakukan oleh sebagian
warga masyarakat untuk bahan pembuatan rumah. Masyarakat menebang pohon karena mahalnya
harga bahan bangunan dan harga kayu jika membeli kayu secara legal. Sementara
pendapatan masyarakat pada umumnya tidak mencukupi, di sisi lain mereka sangat membutuhkan
tempat tinggal. Penebangan pohon untuk pembuatan rumah telah dilakukan sejak
dahulu hingga sekarang. Mereka terbiasa memanfaatkan apa yang
dihasilkan hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat
menebang pohon hanya sebatas kebutuhan mereka. Biasanya kebutuhan kayu untuk
membuat rumah sekitar 4 sampai 5 meter kubik. Kayu yang dijadikan bahan baku
pembuatan rumah diantaranya jenis Puspa, Waru, Huru, Sengon, Manii, dan
Rasamala. Jenis-jenis tersebut dipilih karena jenis tersebut tersedia di hutan.
Penebangan pohon dilakukan secara individu
oleh orang/keluarga yang membutuhkan. Sebelum penebangan dilakukan, biasanya
mereka meminta permohonan dengan sesaji atau kemenyan dan mengucap doa-doa agar
penghuni pohon tersebut tidak mengganggu proses penebangan. Dalam proses
menebang pohon, biasanya mereka menentukan arah rebah terlebih dahulu. Pohon
yang rebah diarahkan pada tempat atau lahan yang aman agar tidak menimbulkan
kerusakan pada tanaman lain di sekitarnya.
Penentuan arah rebah ini juga didasarkan pada
arah angin dan arah tajuk pohon agar penebangan dapat dilakukan dengan lebih
mudah. Setelah itu dibuat takik rebah dan takik balas pada pohon yang akan
ditebang kira-kira 40-60 cm di atas permukaan tanah dengan tujuan mempermudah
proses penebangan. Alat yang biasa digunakan masyarakat untuk menebang kayu
adalah golok dan kapak. Masyarakat tidak pernah menggunakan chainsaw karena harganya
yang relatif mahal, selain itu penebangan pohon juga relatif jarang dilakukan kecuali jika
masyarakat membutuhkan kayu untuk membuat rumah.
3. Mengambil Kayu Bakar
Pengambilan
kayu untuk kebutuhan bahan bakar rumah tangga dilakukan sesuai dengan kebutuhan
rumah tangga masing-masing. Saat ini tidak semua rumah tangga masih memakai
kayu bakar karena pada umumnya mereka sudah menggunakan gas sebagai bahan
bakar. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada penduduk yang
menggunakan kayu sebagai bahan bakar.
Masyarakat
yang menebang kayu relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu,
hal ini terjadi setelah pembatasan dari BTNGHS diperketat dan sanksi yang telah
dibuat,. Terlebih setelah ada beberapa kasus seperti penangkapan penduduk yang
tertangkap memiliki kayu ilegal. Penduduk yang tertangkap menebang atau
memiliki kayu ilegal diserahkan kepada yang berwajib untuk diproses secara
hukum.
D.
PERAN PENGETAHUAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL
MASYARAKAT
Pengetahuan yang dimiliki
masyarakat sangat penting bagi kelestarian
kawasan taman nasional. Penanaman
tanaman berkayu di lahan garapan
masyarakat awalnya adalah anjuran dari pihak
BTNGHS yang ingin
mengembalikan lahan garapan menjadi hutan
dengan tanaman asli taman
nasional. Akan tetapi masyarakat enggan
melakukannya karena mereka masih
membutuhkan lahan untuk bertani. Di sisi lain
sebagian masyarakat juga
menanami lahan mereka dengan tanaman berkayu
yang ditanam di pinggir-pinggir lahan pertanian. Tanaman berkayu tersebut
ditanam karena diyakini dapat menyuburkan tanah dan mencegah erosi.
Selain itu sebagian masyarakat menanam
tanaman berkayu sebagai simpanan untuk ditebang dan dijual jika suatu saat
membutuhkannya. Pengetahuan lokal masyarakat dalam membuka lahan yaitu
pembakaran
semak belukar, ranting, dan daun dengan
tujuan membersihkan lahan dan
mematikan hama penyakit. Menebang pohon
dilakukan dengan memperhatikan
arah rebah pohon dan arah angin. Arah rebah
ditentukan agar tidak mengenai dan merusak pohon lain yang mungkin terkena saat
proses penebangan berlangsung. Hal tersebut juga dilakukan untuk menghindari
kerusakan yang timbul pada kayu akibat penebangan.
E.
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL
Partisipasi masyarakat Cipeuteuy
dalam pengelolaan kawasan taman
nasional diantaranya dilakukan dengan
membatasi interaksi mereka dengan hutan. Pembatasan yang dilakukan diantaranya
pembatasan penebangan pohon,
pembatasan pengambilan kayu bakar dan
pembatasan mengambil rumput
langsung dari kawasan hutan, tidak melakukan
perburuan, dan tidak menambah atau memperluas lahan garapan. Masyarakat dapat
melakukan pembatasan
tersebut karena adanya perubahan pola pikir
masyarakat sedikit demi sedikit.
Partisipasi masyarakat Desa Cipeuteuy juga
dapat dilihat dari penerapan
nilai-nilai tradisional yang dimiliki oleh
masyarakat. Nilai tersebut berupa
larangan memasuki kawasan cagar alam. Selain
itu terdapat larangan menebang
pohon, larangan menggarap lahan, dan larangan
menjual hasil hutan.
Larangan-larangan tersebut muncul akibat
adanya peraturan dari BTNGHS yang dilebur dengan aturan masyarakat Cipeuteuy,
sehingga secara tidak langsung hal tersebut membangun kesadaran dan kesediaan
masyarakat untuk ikut serta dalam menjaga dan melestarikan kawasan hutan.
Hal lain yang merupakan bentuk partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan
TNGHS yaitu kerjasama warga masyarakat dengan BTNGHS. Kerjasama tersebut yaitu
dengan membentuk tim patroli hutan. Patroli hutan dilakukan untuk menjaga
kawasan TNGHS dari perburuan, penebangan, penjarahan dan pencurian kayu.
Kerjasama dengan masyarakat dilakukan karena petugas BTNGHS tidak dapat bekerja
sendiri dalam menjaga kawasan taman nasional yang luasnya mencapai 113.357
hektar. Untuk itu peran nyata masyarakat sangat diperlukan. Dari 30 penduduk
yang diwawancarai sebanyak empat orang atau 13,33 % ikut melakukan patroli
hutan bersama petugas, sedangkan dua puluh enam (26) orang menyatakan tidak
atau sangat jarang. Masyarakat yang ikut dalam kegiatan patroli yaitu
masyarakat yang memiliki kedekatan atau hubungan langsung dengan pihak BTNGHS.